I. Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Makna sila ini adalah:
1.1.
Percaya dan taqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
1.2.
Hormat dan menghormati
serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang
berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
1.3.
Saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
1.4.
Tidak memaksakan suatu
agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab
Makna sila ini adalah:
2.1.
Mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
antara sesama manusia.
2.2.
Saling mencintai sesama
manusia.
2.3.
Mengembangkan sikap
tenggang rasa.
2.4.
Tidak semena-mena
terhadap orang lain.
2.5.
Menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan.
2.6.
Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
2.7.
Berani membela kebenaran
dan keadilan.
2.8.
Bangsa Indonesia merasa
dirinya sebagai bagian dari masyarakat Dunia
Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-
menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Internasional dan dengan itu harus mengembangkan sikap saling hormat-
menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
Makna sila ini adalah:
3.1.
Menjaga Persatuan dan
Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.2.
Rela berkorban demi
bangsa dan negara.
3.3.
Cinta akan Tanah Air.
3.4.
Berbangga sebagai bagian
dari Indonesia.
3.5.
Memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Makna sila ini adalah:
4.1.
Mengutamakan kepentingan
negara dan masyarakat.
4.2.
Tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain.
4.3.
Mengutamakan budaya
rembug atau musyawarah dalam mengambil keputusan bersama.
4.4.
Berrembug atau
bermusyawarah sampai mencapai konsensus atau kata mufakat diliputi dengan
semangat kekeluargaan.
5. Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia
Makna sila ini adalah:
5.1.
Bersikap adil terhadap
sesama.
5.2.
Menghormati hak-hak
orang lain.
5.3.
Menolong sesama.
5.4.
Menghargai orang lain.
5.5.
Melakukan pekerjaan yang
berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
II. Makna Lambang Garuda Pancasila
1.
Perisai di tengah
melambangkan pertahanan bangsa Indonesia
2.
Simbol-simbol di dalam
perisai masing-masing melambangkan sila-sila dalam Pancasila, yaitu:
2.1. Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
2.1. Bintang melambangkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
2.2.
Rantai melambangkan sila
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
2.3.
Pohon beringin
melambangkan sila Persatuan Indonesia
2.4.
Kepala banteng
melambangkan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
2.5.
Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
2.6.
Padi dan Kapas
melambangkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia
Indonesia
2.7.
Warna merah-putih
melambangkan warna bendera nasional Indonesia. Merah
berarti berani dan putih berarti suci
berarti berani dan putih berarti suci
3.
Garis hitam tebal yang
melintang di dalam perisai melambangkan wilayah Indonesia
yang dilintasi Garis Khatulistiwa
yang dilintasi Garis Khatulistiwa
4.
Jumlah bulu melambangkan
hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus
1945), antara lain:
4.1. Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
1945), antara lain:
4.1. Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
4.2.
Jumlah bulu pada ekor
berjumlah 8
4.3.
Jumlah bulu di bawah
perisai/pangkal ekor berjumlah 19
4.4.
Jumlah bulu di leher
berjumlah 45
5.
Pita yg dicengkeram oleh
burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”.
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda beda, tetapi tetap satu jua”.
III. Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas
Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan,
dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan. Setelah dilakukan 4 kali
perubahan, UUD 1945 memiliki 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan
Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun
2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.
IV. Sejarah
Sejarah Awal
Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang
kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17
Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode 1945-1949. Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945
tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada
tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahu kekuasaan legislatif,
karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet
Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD
1945.
Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959
dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal
menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD
1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara
1950 waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
1. Presiden mengangkat Ketua
dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
3.
MPRS menetapkan Soekarno
sebagai presiden seumur hidup
4.
Pemberontakan G 30S
Periode 1966-1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan
kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun
dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan
terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi
yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
1. Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang
menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak
berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
2. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD
1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985
tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan
aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian
kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain
yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945
dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem
presidensiil.
Dalam
kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan
dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
1. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21
Oktober 1999
2. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18
Agustus 2000
3. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9
November 2001
4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999
4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999